SALIDIN oleh : Goenawan Mohamad
Saya coba mendoakan arwah Saladin di depan makamnya, di sebuah ruangan di belakang Masjid Umayyah yang berumur lebih dari 12 abad itu di Damaskus. Tapi konsentrasi diri saya rasanya tak betul. Barangkali sesuatu telah mengganggu hati saya. Makam itu –makam orang yang termasyhur dalam sejarah itu, orang yang besar jasanya itu, orang yang dipuji bahkan oleh musuh-musuhnya itu– terasa kusam. Seperti kesedihan yang dicoba disembunyikan, ruangan itu kelabu. Sebuah kubur dengan nisan yang tinggi tapi hanya tampil serasa kayu lapuk, logam yang aus. Sebuah ruang sekitar 4 X 6 meter, yang seperti kamar yang kehilangan peminat. Warna-warnanya hambar. Cahaya pudar. Sawang tebal. Debu. Orang tak akan tahu dengan segera bahwa di sinilah Sultan Saladin, pahlawan Islam dalam Perang Salib, terkubur. Hanya sebuah gambar kertas yang buruk –mungkin wajahnya– tergantung di dinding. Makam memang tidak untuk dijadikan ruang pameran. Kubur memang hanya pertanda kesementaraan kita –juga keterbatasan seorang